Untuk memahami bagaimana tentara beroperasi sebagai sebuah organisasi seperti saat ini, sangat penting untuk mengetahui sejarah kepemimpinan, bagaimana tentara bekerja dalam menghadapi perubahan sehingga tetap eksis. Di balik fenomena keunggulan seseorang, suatu entitas kelompok dan bangsa terletak ketekunan membiasakan praktik-praktik unggul. Dalam buku "The Habit of Excellence: Why British Army Leadership Works", Letkol Langley Sharp, Kepala The Center for Army Leadership, mengungkap rahasia di balik reputasi hebat tentara Britania Raya. Kata kuncinya adalah tradisi kepemimpinan yang hebat.
Kepemimpinan adalah darah hidup tentara, daya manusia yang mendorong setiap bagian dari korp ketentaraan bekerja, mulai dari training, pengembangan, hingga medan tempur. Tradisi tentara Britania ini terbangun secara kumulatif dalam rentang waktu lebih dari 3 abad, mulai dari kekuatan kecil berjumlah 5000 personil menyusul gelombang Restorasi pada 1660. Setiap orang yang memasuki tentara dan menjadi pemimpin otomatis mengikuti suatu tradisi yang berlaku. Secara sadar atau tidak, mereka dipengaruhi oleh para pemimpin sekitar mereka, yang pada gilirannya dibentuk oleh para pemimpin sebelumnya, menciptakan jaringan kontinum yang menghubungkan para pemimpin di era drone dan big data dengan mereka yang beroperasi di era senapan flintlock.
Tradisi merupakan batu pijak bagi tentara, namun bukan jangkar yang tetap. Di sepanjang elemen kontinuitas, terdapat area yang terus mengalami perubahan. Setiap pemimpin baru memberi sentuhan baru sesuai dengan katakter dan perkembangan keadaan. Ada karakter yang bertahan lama pada kepemimpinan tentara yang menjelaskan sebagian besar kekuatan institusionalnya. Sejarah kepemimpinan tentara ini menujukkan bahwa pemimpin tentara harus selalu beradaptasi terhadap perubahan, harapan masyarakat terhadap tugas dan fungsi terkait pertahanan. Berikut gambaran perjalanan sejarah kepemimpinan tentara dimaksud:
- 1660-1852: Purchase, Honour, Discipline
Peran para pemimpin tentara pada periode ini ditandai adanya kegelisahan politik tentang gagasan keberadaan tentara disaat masih terngiang tentang Perang Saudara dan pemerintahan militer. Pada masa ini kemimpinan tentara terletak pada individu pemimpin yang bertanggungjawab seluruhnya terhadap pendanaan, pembentukan resimen, penyediaan seragam, akomodasi, training, dan system penggajian. Gaya kepemimpinan yang dominan pada periode ini adalah aristokratik yang sangat menghargai keberanian fisik, personal honour dan leadership by example, melakukan pengawasan ketat dan menerapkan pendekatan hukuman dimana memecat tentara yang tidak kompeten dianggap cara terbaik untuk menumbuhkan disiplin.
- Era 1853-1914: Reform and Professionalization
Era ini ditandai dengan terjadinya perubahan organisasi Tentara Inggris menuju profesionalisme dan kapabilitas. Perubahan ini sangat dipengaruhi kekalahan perang “Crimean War” dan “Second Anglo-Boer War” dan perkembangan masyarakat civil yang ditandai pesatnya pertumbuhan sekolah menengah atas yang merupakan sumber dominan rekrutmen tentara baru. Perubahan ini membawa dampak terhadap cara melatih dan mendidik tentara serta memilih pemimpin. Era ini juga ditandai dengan berdirinya Staf Collage tahun 1858 untuk memberikan pelatihan-pelatihan khusus kepada Staff Officer dan pendidikan menjadi salah satu syarat utama untuk bisa promosi. Sejak 1873, Officer diharuskan membuat laporan atas bawahan, menilai kinerja bawahan dan menentukan kepatutan untuk promosi. Sejalan dengan itu, muncul harapan pemimpin yang professional yang memperhatikan kesejahteraan pasukan dan memberi perhatian kepada bawahan.
- 1914-45: Mass mobilization and The Civilian Influence
Perang Dunia menunjukkan bagaimana British Army memobilisasi tentara dalam jumlah besar yang puncaknya terjadi tahun 1939 dimana jumlah tentara sebanyak 259.000 menjadi 2,9 juta pada tahun 1945. Mobilisasi ini mendorong untuk merekrut tentara dari masyarakat sivil dengan berbagai latar belakang pendidikan sehingga memerlukan pola rekrutmen, pengembangan, dan training baru. Pemimpin baru yang akan dipilih berasal dari berbagai ragam latar belakang pekerjaan seperti clerk, shopkeeper, guru, tradesmen, dan wanita. Hal ini berdampak signifikan terhadap demograpi pemimpin dikemudian hari yang pada akhirnya sangat mewarnai pemikiran pemimpin tersebut tentang perang. Pada era ini pula muncul kebutuhan akan figur pemimpin yang bisa melakukan lebih dari sekedar hirarki, disiplin dan perintah. Pemimpin dituntut memiliki visi dan mampu memberikan harapan baru kepada bawahan.
- 1945-Present Day :Demobilization, Doctrine, and Decentralization
Pengalaman perang tentara Inggris yang terlibat mulai dari perang tradisional maupun konflik telah membentuk evolusi modern Kepemimpinan British Army yang mendorong pada dua perkembangan utama yaitu desentralisasi tanggung jawab kepemimpinan kepada komandan unit kecil dan junior dan pengembangan doktrin institusional untuk mendukung pertumbuhan budaya pemimpin yang profesional dan universal. Sejarah kepemimpinan tentara Britania sebagaimana tersebut diatas, merefleksikan perkembangan proses profesionalisasi secara lambat, dari mindset tradisional yang memandang kepemimpinan sebagai suatu bakat bawaan yang melekat pada individu-individu dari latar sosial dan pendidikan istimewa, hingga keyakinan modern yang memandang kepemimpinan sebagai sesuatu yang bisa diajarkan, mengikuti prinsip-prinsip umum, dan menjadi urusan setiap orang dalam tentara. Sepanjang sejarahnya, para pemimpin tentara harus beradaptasi dengan perubahan dan harapan orang-orang yang direkrutnya dan masyarakat yang dipertahankannya, serta evolusi dalam urusan perang dan urusan militer. Kepemimpinan sebagai kombinasi dari karakter, pengetahuan dan perbuatan yang menginspirasi orang lain untuk bertindak bisa diajarkan melalui pembiasaan. Kepemimpinan bukanlah suatu kekecualian heroik, tetapi praktik pembiasaan melakukan apa yang benar, sulit dan perlu setiap hari untuk membangun tim, menjaga orang-orang di dalamnya dan bekerja guna mencapai tujuan.
Saat ini, kepemimpinan tentara telah memiliki fondasi yang kuat atas doktrin yang menjadi pedoman yaitu VALUES dan STANDARDS yang telah dikodifikasi mulai dari referensi perilaku, model kepemimpinan mulai dari Kepemimpinan Tradisional yang menekankan pada control, process, and incentive oriented hingga Transformational Leadership yang menekannya pada encouraging and inspiring people to achieve the desired ends.
Disamping itu ada beberapa pelajaran penting lain yang dibisa kita petik dari British Army Leadership diantaranya:
- Modern British Army
Do not let us be mesmerised by what worked in the past wars: it will no work again. We must take off our hat to the past and roll up our sleeves for future (Field Marshal Bernard Montgemery-1954).
Tentara Inggris selalu melakukan modernisasi dengan cara mengadopsi perubahan namun dengan tetap memegang teguh VALUES: courage, discipline, respect for others, integrity, loyalty, dan selfless commitment dan STANDARDS: lawful, acceptable behaviour dan totally professional.
British Army sebagai sebuah organisasi secara terus menerus mencermati setiap perubahan yang terjadi dan melakukan assesmen atas perubahan tersebut untuk pertama: mengukur dampaknya terhadap organisasi, sumber daya, dan memastikan keuntungan apa yang diperoleh “musuh”. Kedua, hasil asesmen digunakan sebagai basis dalam membuat kebijakan.
- British Army Leader
- British Army Leaders adalah the individuals who embody its Values and Standards at the same time they are most needed.
- Example: Leader as role model. General Colin Powell mengatakan bahwa “soldiers watch what their leaders do” dan oleh karena itu setiap keputusan yang diambil pemimpin akan berpengaruh terhadap budaya dan perilaku. Implementasi Values dan Standards diterjemahkan melalui kepimimpinan berdasarkan contoh. Lt Col. Thorneloe seorang pemimpin yang sangat dihormati bawahannya karena beliau selalu memperhatikan dan komitmen terhadap pasukannya.
- Influence: the leader as custodian. Pemimpin tidak hanya harus menjadi contoh tetapi juga menjadi seorang yang bekerja untuk melindungi dan memelihara budaya dan perilaku kolektif organisasi. Pemimpin harus menjadi pelindung “ Values dan Standards “ organisasi dan untuk itu pemimpin harus menumbuhkan internal disiplin setiap individu anggota agar mereka ingin selalu melakukan yang terbaik dan bukan karena takut hukuman. Discipline does not mean fear of punishment, but the cheerful and willing obedience of command because recipients are confident that orders given by their leaders are for good of individual and the team (Lt Col. J.G. Shillington).
- Responsible: the leader as parent figure
Tanggungjawab dimaknai adanya kesadaran dari pemimpin bahwa setiap keputusan yang diambil menyangkut atau mempengaruhi keselamatan dan kehidupan orang yang mengikutinya. Pemimpin lebih dari sekedar manajer yang tidak sekedar membantu bawahan mengatasi kesulitan, tetapi bekerja bersama dalam relasi yang intens, berbagi kesulitan dan kebahagian, dan mencintai bawahan-they lead is closer to parenting than managing.